14 Mei 1998 adalah hari yang tak akan pernah saya lupakan seumur hidup saya..
Hari itu (14 Mei 1998), saya berada ditempat kerja saya didaerah Cilandak, Jakarta Selatan. Begitu hari menjelang siang saya mendengar bahwa telah pecah kerusuhan rasial di kota Jakarta, tersiar kabar bahwa sudah banyak gedung2 dan bangunan yang dihancurkan, dibakar, dijarah serta penganiayaan sampai pada pembunuhan, pelecehan, juga pemerkosaan terhadap wanita etnis Tionghoa. Karena khawatir akan keadaan keluarga dirumah, maka saya nekat memutuskan untuk pulang kerumah.
Karena situasi kota Jakarta sudah sangat kacau-balau, maka tak ada satupun sarana angkutan umum yang beroperasi (termasuk ojek), bahkan saluran komunikasi seperti teleponpun terputus tak berfungsi. Beruntung, ada seorang tentara yang bersedia mengantar saya pulang kerumah dengan imbalan uang 40 ribu rupiah. Oleh tentara itu saya diberi helm dan disuruh pakai jaket lorengnya untuk menyamar agar jangan sampai diketahui bahwa saya orang Tionghoa.
Dalam perjalanan pulang kerumah dengan dibonceng motor oleh si tentara, saya melihat keadaan kota Jakarta sudah mirip seperti perang., gedung, bangunan, rumah, toko dihancurkan, dibakar, dijarah, konsentrasi massa yang mengamuk begitu banyak dan mengerikan, mereka berteriak-teriak histeris meneriakan 'Allahu Akbar ! Allahu Akbar !', 'Bantai Cina !', ' Hari ini kita makan babi !', 'Perkosa ! perkosa !'..
Lalu lintas tak bergerak, karena massa menyetop setiap kendaraan yang lewat untuk mencari penumpang etnis Tionghoa untuk disembelih atau diperkosa, saya melihat ada satu kendaraan mobil yang dibakar bersama seluruh penumpang didalamnya, karena seluruh penumpangnya adalah orang Tionghoa yang menolak membuka pintu mobilnya..
Kendaraan motor yang saya tumpangi melaju pelan tertahan oleh arus massa yang makin beringas, di jalan Warung Buncit saya melihat pemandangan yang mengenaskan, massa menarik keluar seorang lelaki paruh baya bermata sipit dari tokonya, setelah diseret keluar dari tokonya si engkoh ini langsung dihajar beramai-ramai oleh massa secara sadis, ada yang memukul kepala engkoh ini dengan pipa besi, ada juga yang menghantam perut engkoh ini dengan papan kayu runcing, yang lebih membuat badan saya bergetar hebat, anak si engkoh ini (perempuan umur kira-kira 7 tahunan), juga diseret keluar dari toko, lalu anak perempuan kecil ini dilempar ke aspal jalan raya, secara beramai-ramai massa menginjak-injak bocah perempuan lucu ini dijalan raya aspal sampai usus si anak kecil ini terburai keluar..
Dibalik kaca helm air mata saya terus mengalir deras..
Saya mencengkram kuat bahu si Bapak Tentara diatas motornya agar tidak terjatuh dari atas motor...karena saya tidak kuasa melihat dan merasakan penderitaan mereka yang menjadi korban kekejaman dan kebiadaban para fankui Indonesia.
Didepan kantor Imigrasi Jakarta Selatan, saya melihat ada seorang amoy cantik yang meronta-ronta karena hendak ditelanjangi untuk diperkosa, karena si amoy terus melawan, maka salah satu anjing fankui ini hilang kesabarannya, lalu ia menusuk telapak tangan kanan amoy ini dengan obeng, anjing fankui satunya lagi secara beringas dan sadis menonjoki perut amoy yang malang ini, pemandangan biadab ini hilang dari pandangan setelah mereka beramai-ramai menyeret amoy ini kedalam salah satu gedung yang sudah gosong terbakar.
Inikah harga sebuah reformasi yang harus dibayar oleh kami (etnis Tionghoa ?)
Inikah kesalahan kami karena terlahir dinegeri yang salah ?
Inikah sebuah bangsa yang besar yang katanya bangsa yang ramah-tamah ?
Inikah buah dari sebuah ajaran agama, yang katanya agama yang indah ? indah apanya ?
Air mata kami kering sudah..
Menyesalipun tiada gunanya..
Harapan kami adalah masa depan yang lebih baik,
Dimana Indonesia..
Tidak dipimpin oleh Jenderal gila yang tidak punya kemaluan dan rasa malu.
NB : Jika Anda peduli, simpati dan ikut berbela-sungkawa pada para korban kebiadaban tragedi Mei 1998, maka sebarkanlah (bagikan) tulisan ini kepada yang lainnya.
Ricky Setyadi,
Alumni Fakultas Sastra.
Hari itu (14 Mei 1998), saya berada ditempat kerja saya didaerah Cilandak, Jakarta Selatan. Begitu hari menjelang siang saya mendengar bahwa telah pecah kerusuhan rasial di kota Jakarta, tersiar kabar bahwa sudah banyak gedung2 dan bangunan yang dihancurkan, dibakar, dijarah serta penganiayaan sampai pada pembunuhan, pelecehan, juga pemerkosaan terhadap wanita etnis Tionghoa. Karena khawatir akan keadaan keluarga dirumah, maka saya nekat memutuskan untuk pulang kerumah.
Karena situasi kota Jakarta sudah sangat kacau-balau, maka tak ada satupun sarana angkutan umum yang beroperasi (termasuk ojek), bahkan saluran komunikasi seperti teleponpun terputus tak berfungsi. Beruntung, ada seorang tentara yang bersedia mengantar saya pulang kerumah dengan imbalan uang 40 ribu rupiah. Oleh tentara itu saya diberi helm dan disuruh pakai jaket lorengnya untuk menyamar agar jangan sampai diketahui bahwa saya orang Tionghoa.
Dalam perjalanan pulang kerumah dengan dibonceng motor oleh si tentara, saya melihat keadaan kota Jakarta sudah mirip seperti perang., gedung, bangunan, rumah, toko dihancurkan, dibakar, dijarah, konsentrasi massa yang mengamuk begitu banyak dan mengerikan, mereka berteriak-teriak histeris meneriakan 'Allahu Akbar ! Allahu Akbar !', 'Bantai Cina !', ' Hari ini kita makan babi !', 'Perkosa ! perkosa !'..
Lalu lintas tak bergerak, karena massa menyetop setiap kendaraan yang lewat untuk mencari penumpang etnis Tionghoa untuk disembelih atau diperkosa, saya melihat ada satu kendaraan mobil yang dibakar bersama seluruh penumpang didalamnya, karena seluruh penumpangnya adalah orang Tionghoa yang menolak membuka pintu mobilnya..
Kendaraan motor yang saya tumpangi melaju pelan tertahan oleh arus massa yang makin beringas, di jalan Warung Buncit saya melihat pemandangan yang mengenaskan, massa menarik keluar seorang lelaki paruh baya bermata sipit dari tokonya, setelah diseret keluar dari tokonya si engkoh ini langsung dihajar beramai-ramai oleh massa secara sadis, ada yang memukul kepala engkoh ini dengan pipa besi, ada juga yang menghantam perut engkoh ini dengan papan kayu runcing, yang lebih membuat badan saya bergetar hebat, anak si engkoh ini (perempuan umur kira-kira 7 tahunan), juga diseret keluar dari toko, lalu anak perempuan kecil ini dilempar ke aspal jalan raya, secara beramai-ramai massa menginjak-injak bocah perempuan lucu ini dijalan raya aspal sampai usus si anak kecil ini terburai keluar..
Dibalik kaca helm air mata saya terus mengalir deras..
Saya mencengkram kuat bahu si Bapak Tentara diatas motornya agar tidak terjatuh dari atas motor...karena saya tidak kuasa melihat dan merasakan penderitaan mereka yang menjadi korban kekejaman dan kebiadaban para fankui Indonesia.
Didepan kantor Imigrasi Jakarta Selatan, saya melihat ada seorang amoy cantik yang meronta-ronta karena hendak ditelanjangi untuk diperkosa, karena si amoy terus melawan, maka salah satu anjing fankui ini hilang kesabarannya, lalu ia menusuk telapak tangan kanan amoy ini dengan obeng, anjing fankui satunya lagi secara beringas dan sadis menonjoki perut amoy yang malang ini, pemandangan biadab ini hilang dari pandangan setelah mereka beramai-ramai menyeret amoy ini kedalam salah satu gedung yang sudah gosong terbakar.
Inikah harga sebuah reformasi yang harus dibayar oleh kami (etnis Tionghoa ?)
Inikah kesalahan kami karena terlahir dinegeri yang salah ?
Inikah sebuah bangsa yang besar yang katanya bangsa yang ramah-tamah ?
Inikah buah dari sebuah ajaran agama, yang katanya agama yang indah ? indah apanya ?
Air mata kami kering sudah..
Menyesalipun tiada gunanya..
Harapan kami adalah masa depan yang lebih baik,
Dimana Indonesia..
Tidak dipimpin oleh Jenderal gila yang tidak punya kemaluan dan rasa malu.
NB : Jika Anda peduli, simpati dan ikut berbela-sungkawa pada para korban kebiadaban tragedi Mei 1998, maka sebarkanlah (bagikan) tulisan ini kepada yang lainnya.
Ricky Setyadi,
Alumni Fakultas Sastra.
No comments:
Post a Comment
Nyatakan komen dan pendapat anda di sini ..